Hilangnya Etika dan Akhlak

Beberapa tahun terakhir ini, saya merasa prihatin dengan apa yang saya lihat terutama di sosial media, maupun pesan melalui text. Mengapa? Saya melihat bahwa etika dan sopan santun serasa mulai musnah perlahan. Bagaimana generasi muda saat ini sepertinya mengalami fenomena baru keterbukaan dalam berpendapat, namun hanya dalam dunia maya, ketikan, bahkan tidak sedikit yang bersifat anonim.

Semakin maraknya hoax, fitnah, gambar yang telah diedit, dan berbagai macam hal yang fokus pada mencela pihak lain, terasa begitu mudahnya. Kemajuan teknologi dan dunia maya menjadi salah satu faktor utama, namun tidak sepenuhnya tanggung jawab berada di pundak dunia maya.

Saya mengenal dunia maya sejak tahun 1995, dimana saat itu hampir keseluruhan individu yang berada di dunia maya, adalah para pakar yang sedang bereksplorasi terhadap kecanggihan dunia maya. Banyak rekan dunia maya yang saya kenal secara online di masa – masa tersebut, masih tetap menjadi teman karib dalam berbagi informasi dan pengetahuan. Semua rekan saya memiliki etika dan sopan santun yang baik.

 

Jadi kapan terjadinya transisi etika dalam dunia maya ini? Kapan hilangnya netiket?

 

Satu hal yang paling memprihatinkan adalah, banyaknya individu yang sudah tidak memiliki rasa hormat seperti yang diwariskan orang tua kita, yaitu menghormati orang yang jauh lebih tua. Dalam benak saya, hal ini mutlak, sekalipun kita menyadari bahwa orang tua tersebut melakukan kesalahan, namun kami dibina untuk tetap sopan dalam menyampaikan kritik maupun informasi supaya tidak menyinggung. Terlepas dari bagaimana wujud kesalahan tersebut, namun sebagai manusia yang baik dan berakhlak, sudah selayaknya kita mengedepankan sopan santun, menunjukkan jati diri sebagai individu yang berbudaya dan beradab.

Etika saling menghormati inilah yang pada dasarnya dapat saya banggakan sebagai warga negara Indonesia, dimana sebagai bangsa timur, kita semua masih mengenyam pembinaan etika semacam ini. Sungguh disayangkan bahwa semakin hari, pembinaan ini semakin luntur, bahkan hilang. Tapi apakah ini sepenuhnya berada pada pundak generasi muda? Bukankah hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi kami, sebagai orang tua dari generasi saat ini?

Saya menyadari tingkat kecerdasan terhadap kemajuan teknologi saat ini semakin berkembang, namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan kecerdasan emosi. Saat seseorang menggenggam telepon, menyebarkan informasi yang baru ia dapatkan, tanpa meneliti lebih jauh, hal ini sudah menunjukkan rendahnya pengendalian emosi dan nalar dalam berpikir. Kemudian informasi tersebut semakin menyebar dari setiap ibu jari dan telepon genggam maupun komputer individu lain, sehingga akhirnya sebuah informasi yang mungkin tidak bisa diketahui kebenarannya, menjadi “fakta” yang dianggap benar.

 

Seperti ungkapan dari Goebbels (1939) dalam propaganda untuk Adolf Hitler

"Tell a lie a hundred times and it becomes the truth."

 

Saya juga memperhatikan bahwa hal ini terjadi bukan hanya dalam dunia sosial media, namun saat sebuah SMS masuk ke telepon genggam seorang dosen yang kebetulan keluarga saya, pesan yang disampaikan juga jauh dari etika dan sopan santun mahasiswa terhadap dosennya. Bagaimana seorang mahasiswa kerap kali mengatur bahkan berkesan memerintah dosen tersebut, tanpa ada ungkapan kata “maaf” “permisi” atau “mohon bantuannya”.

Untuk pribadi yang saling mengenal langsung saja seperti kasus dosen dan mahasiswa di atas, etika sudah tidak menjadi faktor utama. Tentu saja pada akun – akun yang dapat dibuat anonim seperti twitter, instagram, bahkan facebook, komentar – komentar negatif dan kasar juga lebih mudah untuk dilakukan karena pemilik komentar merasa bahwa tidak ada orang yang mengenalnya, atau entah hal apa yang ada dalam pikirannya, yang jelas ia sudah mampu mengeluarkan kata – kata kasar dan menghina bagi pribadi yang tidak ia sukai.

Tulisan ini saya buat karena secara pribadi, saya ingin memperbaiki situasi yang terjadi sebelum etika, moral dan sopan santun menjadi punah. Saya hanya individu kecil, memiliki keluarga kecil, dan hanya dari keluarga dan anak – anaklah saya bisa memulainya. Alangkah baiknya jika kita pun memulai hal ini dari diri sendiri, dan mewariskan pada anak – anak kita mengenai pentingnya berbudaya, menjaga etika dan sopan santun, serta tetap menghormati orang yang lebih tua, siapapun itu.

Semoga kita semua bisa saling membantu dan menjaga keramah-tamahan yang menjadi wajah budaya Indonesia.